Soal: Batas Pengobatan Orangtua
Kana yth.,
Kami dua bersaudara menghadapi soal yang rumit. Ibu kami sudah meninggal dunia, tinggal ayah yang kini berusia 75 tahun dan sakit serta tak sadar.
Adik saya dan saya sendiri hidup pas-pasan. Saya sudah menjual mobil dan rumah untuk membiayai pengobatan ayah yang tak kunjung sembuh. Kami tak tahu lagi apa yang harus kami buat, juga sebagai balas budi.
(S&M)
Jawab:
Sdr.S dan M
yth.
1. Anda
sudah banyak berkurban. Seandainya ayah Anda sadar dan dapat
mengatakannya,
saya kira
ia akan berkata: “Sudah cukup, pakailah uang itu untuk keperluan keluargamu
sendiri.
Berapa lama tambahan waktu aku hidup di dunia ini dan dalam keadaan yang
bagaimana? Mau apa lagi? Tugasku sudah selesai. Biarlah aku dibebaskan
dari pende-
ritaan
dan perkenankanlah aku meninggal”.
2. Tentulah timbul beberapa soal dalam hati Anda:
a. Bagaimana kewajiban anak terhadap orangtuanya. Saya ingat akan hukum
IV:
“Hormatilah ibu bapamu”.
b. Bagaimana ajaran Gereja Katolik dalam hal ini (kesehatan dan
menghormat
orangtua)?
3. Sikap Gereja Katolik sering kurang dipahami
pelbagai pihak.
a. Dengan
gigih Gereja membela kehidupan manusia, maka tak menyetujui tindakan
yang
dianggap kurang menghargainya, misalnya penelitian sel punca yang menghan-
curkan
embrio, meskipun demi penyembuhan sejumlah penyakit.
Posisi
Gereja ditegaskan lagi dalam dokumen baru (Desember 2008) yang berjudul
“Dignitas Personae”.
b. Posisi
Gereja Katolik jelas bukan hanya dalam soal canggih, melainkan dalam soal
biasa
seperti aborsi dan eutanasi.
4. Tetapi Gereja Katolik tidak ekstrem, melainkan
masuk akal.
Hidup
dan kesehatan adalah anugerah dan tugas sekaligus, dari awal sampai akhir.
Dalam
moral katolik dibedakan antara pengobatan (“to cure”) dan perawatan (“to
care”).
Pemeriksaan kesehatan oleh dokter dapat sampai pada kesimpulan bahwa
pasien tak
dapat
disembuhkan, sehingga pengobatan sia-sia belaka, bahkan menimbulkan banyak
penderitaan.
Dalam hal
pengobatan dihentikan, perawatan harus terus jalan. Dengan perawatan
dimaksudkan pemberian makan-minum, kebersihan dan kenyamanan
sebisa-bisanya.
5. Tak seorangpun dapat dituntut melebihi
kemampuannya.
Maka jika
orang tak mampu membayar rekening pengobatan ayahnya, mau apa lagi?
Sayang
bahwa seringkali benar di Indonesia :
“Orang miskin harus mati lebih dulu”.
Mungkin
baik juga terus terang mengatakan kepada dokter (atau rumah sakit)
bahwa
Anda tidak mampu memikul biaya pengobatan.
6. Tanggung jawab atas hidup
a. Manusia
wajib memelihara hidup sejak pembuahan sampai kematian alamiah.,
dengan
cara-cara proporsional (seimbang).
b. Hidup
manusia biasanya campuran suka-duka, dan mempunyai aneka keterbatasan.
Setiap
hidup dalam dunia fana ini terbatas kurun waktunya. Pada suatu saat manusia
pasti
akan mati; kita tidak tahu kapan dan bagaimana.
c. Dalam
sejarah ada banyak contoh terkenal, seperti: Ramon Sampredo (1943-1998),
Karen
Ann Quinlan (1954-1985), Terri Schiavo (1963-2005) Piergiorgio Welby
(1945-2006), Eluana Englaro (1970-2009).
d. Tetapi
ada jauh lebih banyak kasus kurang terkenal.
7. Batas terapi
a. Kewajiban memelihara hidup tidak mati-matian (“at any cost”),
melainkan menurut prinsip proporsionaslitas.
b. Prinsip
proporsionalitas
Saya
hindari istilah yang dulu sering dipakai “sarana biasa dan luarbiasa” karena
da-
pat
menimbulkan salah paham yang dijernihkan Takhta Suci, misalnya pemberian
makan
minum secara canggih seperti terjadi di Amerikan Serikat. Pada tanggal 1-8-
2007
Takhta Suci menjawab: wajib memberi nutrisi artifisial dan menghindari de-
hidrasi untuk mencegah kematian.
Proporsionalitas meliputi:
1)
Perlunya sarana
2)
Kecocokan sarana
3) Tidak berlebihan
8. Beberapa sumber acuan:
1997:
Katekismus Gereja Katolik art.2266-2267
2007:
Jawaban Kongregasi Ajaran Iman soal nutrisi artifisial
2008:
Dignitas personae
Teriring salam dan doa
PG untuk dan a.n. KANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar