PERAN HATI NURANI
Oktaviano
Nandito Guntur*
Pernahkah
dalam keluarga, para Ibu dan Bapa mengajarkan pada anak-anaknya apa itu hati
nurani? Saya jamin, tentu itu sudah dilakukan terus-menerus. Kata-kata seperti:
“Dengarkanlah hati nuranimu, ikutilah hati nuranimu” pasti sudah sering terucap. Kata ini mempunyai makna yang
dapat dipergunakan untuk membuat seorang anak menjadi lebih dekat dengan
keluarganya.
Hati
nurani adalah bagian terdalam atau inti hati manusia. Maksud saya, bukanlah
hati yang terdapat pada tubuh fisik kita yang disebut juga “liver”. Hati yang dimaksudkan di sini
adalah pusat perasaan-perasaan halus kita yang berada di rongga dada. Ini
sesuai dengan apa yang dikatakan dalam Kitab Suci bahwa setiap manusia didiami
oleh Allah. Hati inilah yang mau saya katakan sebagai Zat Tuhan. Karena hati nurani itu sendirilah
yang menjadi penentu mana yang baik dan mana yang benar.
Sehubungan
dengan peran hati nurani dalam kaitannya dengan peristiwa kehilangan, saya
yakin bagi siapapun yang mengalami suatu “kehilangan” besar pastilah akan
mengalami duka nestapa yang besar juga. Saya pernah mengalami kehilangan yang besar
dan mengalami masa-masa dimana semua itu terasa suram dan begitu gelap, seakan tak
ada setitik cahaya pun yang nampak. Tetapi dalam keadaan itu, saya menjadi sadar
saat membaca injil tentang orang buta yang disembuhkan oleh Yesus.
Orang
buta tak mampu melihat. Tetapi bukankah orang itu hanya tak mampu melihat? Dia masih mampu berjalan dan menggunakan
indera-inderanya yang tidak rusak atau masih normal. Maksud saya, ketika orang
itu buta, dia barangkali jauh lebih berkembang pada indera perabanya dari pada
orang-orang normal. Pada dasarnya orang yang mengalami kehilangan besar akan
menjadi seperti buta dan kalang kabut. Tetapi bukankah masih ada alternatif
lain.
Kita
masih punya hati nurani yang tak satupun manusia yang bisa merampasnya dari
kita. Tetapi herannya, mengapa masih ada penjahat serta para remaja yang ketagihan
obat-obatan terlarang ? Ini semua terjadi karena pada dasarnya hati nurani mereka
tertutup oleh lumpur dosa.
Lalu,
bagaimana cara membersihkan lumpur dosa yang menciptakan kubangan yang menjebak
dan membuat seorang remaja tak berdaya? Langkah pertama adalah, seharusnya para
orang tua mengajak mereka untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan, bukannya
lepas tangan dan membiarkan mereka tanpa pendampingan yang intens. Kedua, orang
tua perlu mendoakan mereka. Inilah senjata ampuh setelah yang pertama. Dengan
berdoa kepada Tuhan dapat dipastikan, lama-kelamaan seorang remaja akan berubah
karena kuasa kerahahiman-Nya. Tuhan adalah terang cahaya bagi kaum kafir dan
sinar penyelamat bagi umat-Nya.
Sudah
jelas dikatakan, hati nurani kitalah yang menjadi pembeda antara benar dan
salah. Semakin peka kita, semakin tahu kita mana yang benar dan mana yang
salah, karena hati nurani itu adalah Allah itu sendiri.
Dalam
hidup berkeluarga peran logika tetap penting untuk mengkiritisi berbagai
peristiwa hidup yang dialami. Namun realitas menyatakan bahwa seringkali
rasionalitas membawa kita jauh dari Tuhan. Dalam ziarah kehidupan ini, sebaiknya
hati nurani tetap dijadikan sebagai nahkoda dan rasio menjadi pelaksananya.
Jadi untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan untuk memaknai kehidupan keluarga
dengan segala kompleksitasnya, hendaknya hati nurani tetap dijadikan sebagai nahkoda
utama yang akan menuntun ke arah jalan yang benar.**
*Siswa SMA. Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar