Selasa, 03 Februari 2015

Ibu, Feminisme dan Aborsi
(Catatan Kecil bagi Kebesaran Keluarga dan
Yang Tersisa dari Permenungan tentang Ibu)

Oleh Fr. Reinard L. Meo, SVD
Sejatinya, ada begitu banyak cara untuk melukiskan ‘siapa itu Ibu.’  Aksi nyata saja belum cukup, orang berlari menuju kata-kata. Kata-kata juga belum memadai, orang berkumandang melalui imajinasi. Sebut saja penyair kenamaan, Kahlil Gibran. Ia pernah berefleksi demikian: “Ibu adalah segalanya. Dia adalah hiburan dalam kesedihan kita, harapan dalam penderitaan, dan kekuatan dalam kelemahan. Dia adalah sumber cinta, kasih sayang, simpati, dan ampunan. Orang yang kehilangan ibunya telah kehilangan jiwa murni yang selalu memberkati dan melindunginya.”
Penulis dan juga Anda sekalian, tentu mempunyai “suara” untuk membahasakan, sekurang-kurangnya, ibu kita masing-masing. Dan pada momen peringatan Hari Ibu (setiap tanggal 22 Desember), hari yang diperuntukkan khusus untuk menghormati semua ibu di dunia, penulis kembali mengangkat soal feminisme dan aborsi. Dalam nada yang cukup skeptis lagi miris, penulis coba menitikberatkan pada problematika aborsi sebagai serpihan kaca tajam bagi langkah kaki feminisme itu sendiri. Pada titik ini, perjuangan serentak hati nurani para ibu terakumulasi dalam lingkaran dilematis. Ibu tidak hanya direfleksikan, tetapi juga dipanggil untuk berefleksi.
Feminisme dan Wacana Kesetaraan Jender
Kekerasan dalam rumah tangga, penyiksaan majikan atas pekerjanya, pelecehan seksual, human trafficking, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, menghantar kaum wanita (kebanyakan para ibu) pada sebuah kesadaran baru. Fakta-fakta ini perlu disudahi, sekaligus dominasi kaum pria dengan tendensi patriarkatnya yang masih sangat kuat, mesti ditentang. Perlawanan terorganisir terhadap sistem patriarkat itulah yang kini dikenal luas dengan gerakan feminisme.
Adapaun feminisme itu berupaya keras untuk kembali menegaskan dan memberi pemahaman baru bagi soal penerimaan nilai-nilai dalam masyarakat secara begitu saja, menentang persepsi yang berpandangan bahwa siaf-sifat maskulin lebih penting dari sifat-sifat feminim, mengkritisi stratifikasi sosial berdasarkan jender, dan menekankan perihal kehidupan seksualitas (Bernard Raho, 2008:113).
Feminisme menjadi semacam jawaban bagi wacana kesetaraan jender. Wanita dan pria perlu dan memang harus diposisikan sejajar, tidak terlalu jauh agar dapat bekerja sama dan tidak saling bertentangan, juga tidak terlalu dekat sehingga peran-peran eksklusif dapat dimainkan secara leluasa. Kesetaraan jender perlu mendapat penegasan, wanita dan pria harus mendapat  porsi yang sama dalam hidup bermasyarakat.
Sudah saatnya wanita menikmati hak-haknya, dan diberi peluang yang sama untuk berkontribusi. Upaya-upaya konkret dapat kita galakkan, dengan mulai memperhatikan hal-hal ini sejak dari tingkat keluarga. Stop KDRT, kurangi geliat prostitusi, bungkam human trafficking, cegah gradasi angka kematian ibu dan bayi, serta tingkatkan pemberdayaan wanita yang mandiri dan kreatif.    
Aborsi : Sebuah Tantangan
Akhir-akhir ini, di sela-sela sepak terjang feminisme, banyak pemberitaan di media massa, berkenaan dengan satu dari sekian banyak kejahataan yang sedang melanda esensi kemanusiaan universal, yakni aborsi. Tindakan aborsi semakin santer saja dilancarkan, dan tidak sedikit pula yang mencuat ke ruang publik. Hampir di semua wiayah di Pulau Flores, kasus ini pernah terjadi. Janin yang dibuang di selokan, borok bayi yang diseret anjing, atau pula kematian sang ibu karena pendarahan. Satu hal yang pasti, hakikat manusia sebagai citra Allah dilecehkan tanpa perasaan takut atau berdosa.
Aborsi sangatlah problematis serta masih dan tetap menjadi polemik global. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) menyebut aborsi (Latin : abortus) sebagai terjadinya keguguran janin, melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu lahir). Aborsi dalam perspektif ini (yang dielaborsi dalam artikel ini), bukanlah aborsi dalam terang asas etik keperawatan, melainkan aborsi sebagai ‘perkelahian dengan Allah.’ Pada galibnya, aborsi dilatari oleh ketidakinginan seseorang (calon ibu, yang umumnya kaum muda atau anak-anak) atau beberapa orang (calon orang tua dan keluarga) akan hadirnya individu baru ke tengah mereka.
Ketidakinginan itu tentunya lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan pula atau ironisnya malah yang tidak diduga sebelumnya. Ada semacam perasaan takut apabila diketahui oleh keluarga, atau perasaan belum siap dan belum bisa bertanggungjawab. Aborsi, lazimnya merupakan keputusan mendadak yang dibangun atas perasaan takut dan belum siap. Selanjutnya, aborsi sering pula menjadi cara untuk menutupi aib keluarga di tengah masyarakat.
Tragisnya, aborsi sering dilihat sebagai alternatif termudah dan terefektif dalam menyembuhkan rasa malu sosial. Yang terjadi pada anak bersangkutan, sangat tidak diinginkan apabila sampai menodai prestise keluarga. Aborsi dapat menjadi semacam jalan terakhir dalam menjaga dan memulihkan reputasi keluarga. Namun, sampai kapan pun, Aborsi tetap merupakan tantangan, bukan hanya bagi feminisme semata, tetapi juga bagi kemanusiaan. Stop aborsi, selamatkan Ibu dan bayi.
Baik feminisme maupun aborsi, sama-sama menempatkan ibu (wanita) sebagai sentral figurnya. Ketika banyak wanita dan pihak-pihak pendukung gencar menyuarakan kesetaraan jender, sebagian ibu justru berbalik arah. Aborsi, hemat penulis, merupakan salah satu tantangan bagi feminisme. Di satu sisi kaum wanita berjuang mati-matian, sedangkan di sisi lain justru segelintir ibu mengalami ketumpulan hati nurani. Sungguh ironis serentak tragis. Akhirnya, penulis sekali lagi mengajak kita semua untuk sama-sama berjuang bagi upaya kesetaraan wanita dan pria.
Dominasi dan otoritas kaum pria perlu digugat. Dan dalam konteks Indonesia, khususnya NTT, mari kita memerangi aborsi, KDRT, pelecehan seksual, dan human trafficking.  Bahwasannya, pria bukan raja atas wanita, dan aborsi bukanlah solusi bagi reputasi dan prestise. Semoga momen peringatan ini dapat menjadi semacam ‘waktu hening’ untuk berefleksi, merenungi ibu, oleh ibu juga, dan untuk ibu serta dunia. Dengan demikian, pada gilirannya, cara kita membahasakan sang ibu kian tegas dan akurat. “Ibu, inilah anakmu; anak, inilah ibumu. Selamat Hari IBU, surga ada di telapak kaki-mu!”.**
*Mahasiswa STFK Ledalero



Tidak ada komentar:

Posting Komentar