Ibu,
Feminisme dan Aborsi
(Catatan Kecil bagi Kebesaran
Keluarga dan
Oleh Fr. Reinard L. Meo, SVD
Sejatinya,
ada begitu banyak cara untuk melukiskan ‘siapa itu Ibu.’ Aksi nyata saja belum cukup, orang berlari menuju
kata-kata. Kata-kata juga belum memadai, orang berkumandang melalui imajinasi.
Sebut saja penyair kenamaan, Kahlil Gibran. Ia pernah berefleksi demikian: “Ibu adalah segalanya. Dia adalah hiburan
dalam kesedihan kita, harapan dalam penderitaan, dan kekuatan dalam kelemahan.
Dia adalah sumber cinta, kasih sayang, simpati, dan ampunan. Orang yang
kehilangan ibunya telah kehilangan jiwa murni yang selalu memberkati dan
melindunginya.”
Penulis
dan juga Anda sekalian, tentu mempunyai “suara” untuk membahasakan,
sekurang-kurangnya, ibu kita masing-masing. Dan pada momen peringatan Hari Ibu
(setiap tanggal 22 Desember), hari yang diperuntukkan khusus untuk menghormati
semua ibu di dunia, penulis kembali mengangkat soal feminisme dan aborsi. Dalam
nada yang cukup skeptis lagi miris, penulis coba menitikberatkan pada
problematika aborsi sebagai serpihan kaca
tajam bagi langkah kaki feminisme
itu sendiri. Pada titik ini, perjuangan serentak hati nurani para ibu terakumulasi
dalam lingkaran dilematis. Ibu tidak hanya direfleksikan, tetapi juga dipanggil
untuk berefleksi.
Feminisme dan Wacana Kesetaraan Jender
Kekerasan
dalam rumah tangga, penyiksaan majikan atas pekerjanya, pelecehan seksual, human trafficking, dan masih banyak lagi
contoh-contoh lainnya, menghantar kaum wanita (kebanyakan para ibu) pada sebuah
kesadaran baru. Fakta-fakta ini perlu disudahi, sekaligus dominasi kaum pria dengan
tendensi patriarkatnya yang masih sangat kuat, mesti ditentang. Perlawanan
terorganisir terhadap sistem patriarkat itulah yang kini dikenal luas dengan
gerakan feminisme.
Adapaun
feminisme itu berupaya keras untuk kembali menegaskan dan memberi pemahaman
baru bagi soal penerimaan nilai-nilai dalam masyarakat secara begitu saja,
menentang persepsi yang berpandangan bahwa siaf-sifat maskulin lebih penting
dari sifat-sifat feminim, mengkritisi stratifikasi sosial berdasarkan jender,
dan menekankan perihal kehidupan seksualitas (Bernard Raho, 2008:113).
Feminisme
menjadi semacam jawaban bagi wacana kesetaraan jender. Wanita dan pria perlu
dan memang harus diposisikan sejajar, tidak terlalu jauh agar dapat bekerja
sama dan tidak saling bertentangan, juga tidak terlalu dekat sehingga
peran-peran eksklusif dapat dimainkan secara leluasa. Kesetaraan jender perlu
mendapat penegasan, wanita dan pria harus mendapat porsi yang sama dalam hidup bermasyarakat.
Sudah
saatnya wanita menikmati hak-haknya, dan diberi peluang yang sama untuk
berkontribusi. Upaya-upaya konkret dapat kita galakkan, dengan mulai
memperhatikan hal-hal ini sejak dari tingkat keluarga. Stop KDRT, kurangi geliat prostitusi, bungkam human trafficking, cegah gradasi angka kematian ibu dan bayi, serta
tingkatkan pemberdayaan wanita yang mandiri dan kreatif.
Aborsi : Sebuah Tantangan
Akhir-akhir
ini, di sela-sela sepak terjang feminisme, banyak pemberitaan di media massa,
berkenaan dengan satu dari sekian banyak kejahataan yang sedang melanda esensi
kemanusiaan universal, yakni aborsi. Tindakan aborsi semakin santer saja
dilancarkan, dan tidak sedikit pula yang mencuat ke ruang publik. Hampir di
semua wiayah di Pulau Flores, kasus ini pernah terjadi. Janin yang dibuang di
selokan, borok bayi yang diseret anjing, atau pula kematian sang ibu karena
pendarahan. Satu hal yang pasti, hakikat manusia sebagai citra Allah dilecehkan
tanpa perasaan takut atau berdosa.
Aborsi sangatlah problematis serta
masih dan tetap menjadi polemik global. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996)
menyebut aborsi (Latin : abortus) sebagai terjadinya keguguran janin, melakukan
pengguguran (dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung
itu lahir). Aborsi dalam perspektif ini (yang dielaborsi dalam artikel ini),
bukanlah aborsi dalam terang asas etik keperawatan, melainkan aborsi sebagai ‘perkelahian
dengan Allah.’ Pada galibnya, aborsi dilatari oleh ketidakinginan seseorang
(calon ibu, yang umumnya kaum muda atau anak-anak) atau beberapa orang (calon
orang tua dan keluarga) akan hadirnya individu baru ke tengah mereka.
Ketidakinginan
itu tentunya lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan pula atau ironisnya
malah yang tidak diduga sebelumnya. Ada semacam perasaan takut apabila
diketahui oleh keluarga, atau perasaan belum siap dan belum bisa
bertanggungjawab. Aborsi, lazimnya merupakan keputusan mendadak yang dibangun
atas perasaan takut dan belum siap. Selanjutnya, aborsi sering pula menjadi
cara untuk menutupi aib keluarga di tengah masyarakat.
Tragisnya,
aborsi sering dilihat sebagai alternatif termudah dan terefektif dalam
menyembuhkan rasa malu sosial. Yang terjadi pada anak bersangkutan, sangat
tidak diinginkan apabila sampai menodai prestise keluarga. Aborsi dapat menjadi
semacam jalan terakhir dalam menjaga dan memulihkan reputasi keluarga. Namun,
sampai kapan pun, Aborsi tetap merupakan tantangan, bukan hanya bagi feminisme
semata, tetapi juga bagi kemanusiaan. Stop
aborsi, selamatkan Ibu dan bayi.
Baik
feminisme maupun aborsi, sama-sama menempatkan ibu (wanita) sebagai sentral
figurnya. Ketika banyak wanita dan pihak-pihak pendukung gencar menyuarakan
kesetaraan jender, sebagian ibu justru berbalik arah. Aborsi, hemat penulis,
merupakan salah satu tantangan bagi feminisme. Di satu sisi kaum wanita
berjuang mati-matian, sedangkan di sisi lain justru segelintir ibu mengalami
ketumpulan hati nurani. Sungguh ironis serentak tragis. Akhirnya, penulis
sekali lagi mengajak kita semua untuk sama-sama berjuang bagi upaya kesetaraan
wanita dan pria.
Dominasi
dan otoritas kaum pria perlu digugat. Dan dalam konteks Indonesia, khususnya
NTT, mari kita memerangi aborsi, KDRT, pelecehan seksual, dan human trafficking. Bahwasannya, pria bukan raja atas wanita, dan
aborsi bukanlah solusi bagi reputasi dan prestise. Semoga momen peringatan ini
dapat menjadi semacam ‘waktu hening’ untuk berefleksi, merenungi ibu, oleh ibu
juga, dan untuk ibu serta dunia. Dengan demikian, pada gilirannya, cara kita
membahasakan sang ibu kian tegas dan akurat. “Ibu, inilah anakmu; anak, inilah ibumu. Selamat Hari IBU, surga ada
di telapak kaki-mu!”.**
*Mahasiswa STFK Ledalero
Tidak ada komentar:
Posting Komentar