Tertarik Ajakan Uskup Surabaya
Ketika
pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia, muncul sebuah perasaan dalam
diri sosok yang satu ini. Maklum masuk ke wilayah Indonesia merupakan
perjalanan pertama dia ke luar negeri. Sebagai seorang misionaris, kondisi dan
situasi apapun yang ditemui, bukan menjadi kendala karena memang misi para
gembala adalah mewartakan keselamatan ke pelosok dunia manapun. Dialah Nilo
Asuncion Lardizabal, OP, seorang pastor atau misonaris Dominikan, kelahiran
Manila, Filiphina, 33 tahun lalu.
Romo
Nilo –sapaan akrabnya—setelah beberapa hari berada di Jakarta, langsung terbang
ke Surabaya. Di Surabaya, bersama dengan Romo Paul (juga dari Manila), keduanya
menuju sebuah tempat yang letaknya di kawasan Dukuh Kupang Barat, Gereja Redemptor Mundi (RM).
Di
Gereja RM, sudah ditunggu dua pastor sesama ordo yang sudah satu tahun lebih
berada di Paroki Redemptor Mundi, Romo Adrian Adiredjo, OP, dan Romo Andreas Kurniawan,
OP. Romo Adrian sehari-hari menjadi pastor kepala paroki RM, sedangkan Romo Andreas sebagai pastor rekan.
Kedua-keduanya juga menjadi dosen di Universitas
Widya Mandala dan Seminari Tinggi Providentia Dei Diosesan Keuskupan Surabaya.
Apa
kesan pertama yang muncul dari Romo Nilo? “Saya senang. Terus terang, saya
tidak merasa asing, Malah begitu ditunjuk pembesar untuk berkarya di Indonesia
saya sambut dengan gembira. Bayangkan, sejak tahun 2009 hati ini ingin sekali ke
Indonesia,” tutur Romo Nilo memulai percakapan dengan Kana belum lama ini di Surabaya.
Lelaki
yang murah senyum dan ramah ini membuka cerita. “Tahun 2009, Uskup
Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono datang ke Manila. Bapak Uskup
minta kalau bisa lulusan doktor filsafat dari Universitas St Thomas Manila mau
berkarya di Indonesia menjadi dosen. Saya mulai tertarik dengan ajakan itu,” kata putra dari Emilito Lardizabal dan
Cynthia Lardizabal ini.
Tertarik
dengan ajakan Uskup, penggemar hewan piaraan kucing ini, mengaku menambah
semangatnya untuk menyelesaikan program doktor filsafat. “Begitu saya selesaikan program doktor, oleh
pembesar langsung mengirim saya ke Surabaya,” kata Romo Nilo. Menurut pengakuan
dia, ketertarikan berkarya di Indonesia selain menjadi dosen filsafat, juga
ingin membantu Ordo Dominikan di Indonesia.
Setelah
beberapa hari di Surabaya, Romo Nilo melihat ada pemandangan yang membuat dia
acungkan jempol yakni kehadiran umat pada misa harian dan misa pada Sabtu dan
Minggu dimana jumlahnya banyak.
“Di
Manila kalau misa harian, umat yang
datang misa tidak banyak. Kalau di sini banyak dan saya senang melihat antusiasme
umat seperti itu,” ujar Romo Nilo yang kini sedang mengikuti kursus bahasa
Indonesia. “Di sini saya bahagia karena punya banyak teman, lagi pula mereka
rajin-rajin, setia dan ramah. Saya senang kalau misa umat menyanyi semua dengan
suara-suara merdu,” pujinya.
Bahagia campur sedih
Menyinggung
tentang reaksi keluarganya, apakah tidak sedih ketika berpamitan, Romo menarik
napas panjang dan mengatakan, perasaan kedua orangtua dan adik kandung yang
perempuan, Neza Lardizabal, bercampur sedih dan bahagia.
“Waktu
saya pamit, orangtua dan adik saya yang perempuan sepertinya berat. Saya lihat
mereka sedih dan juga mereka bilang bahagia karena menjalankan tugas
kegembalaan di luar negeri. Mereka sedih karena lama tidak melihat saya,”
ungkapnya.
Sebagai
anak pertama, lanjutnya, wajar kalau kedua orangtua dan adik perempuannya
mereka kehilangan. Tapi di balik itu, keluarganya mengaku, ada kebanggaan
tersendiri dimana putranya menjadi gembala di negeri orang.
Kini
salah satu kewajiban yang harus dia lakukan di Surabaya adalah mempelajari
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. “Saya terus belajar. Setelah saya
belajar bahasa Indonesia, saya merasa tertarik. Saya mulai belajar tiga minggu
lalu dibawah bimbingan guru les privat, Ibu Fransisca. Ibu Fransisca guru yang
sangat bagus,” kata Romo yang mengaku mulai doyan sambal pedis ini.
Pada
3 Desember lalu, ada satu momen yang cukup mengharukan yakni ultah imamatnya
yang ke-4. Ultah imamat itu dirayakan sangat sederhana di ruangan rapat Romo
Paroki dan dihadiri sekitar 15 orang terdiri dari para ibu-ibu pengurus DPP dan
BGKP, Romo Andre, Romo Paul, karyawan
paroki. Di salah satu sudut ruangan berdiri sebuah kue tart dengan empat lilin
kecil sebagai symbol imamat keempat Romo Nilo. Meski tidak dihadiri kedua
orangtua, tidak membuat Romo Nilo sedih. “Sedih juga tapi tidak terlalu. Saya
sudah sering jauh dari keluarga. Saya gembira Bapak dan ibu yang hadir di sini
ramah-ramah. Malah di sini saya merasa seperti rumah sendiri,” katanya sembari
tersenyum.
Ditanya
bagaimana setelah satu rumah dengan Romo Adrian dan Romo Andre, Romo Nilo
mengatakan, hubungan mereka baik-baik saja. “Romo Adrian, Romo Andre, Romo
Paul, kami semua seperti saudara. Apalagi kami sama-sama belajar di seminari tinggi
di Manila. Saya satu angkatan dengan Romo Paul dan Romo Andreas waktu di
Manila. Kalau Romo Adrian saya anggap seperti kakak saya sendiri,” ujarnya.
Selamat bertugas Romo Nilo, semoga betah di Surabaya.
(herman yos kiwanuka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar