Selasa, 03 Februari 2015

Tertarik Ajakan Uskup Surabaya

Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia, muncul sebuah perasaan dalam diri sosok yang satu ini. Maklum masuk ke wilayah Indonesia merupakan perjalanan pertama dia ke luar negeri. Sebagai seorang misionaris, kondisi dan situasi apapun yang ditemui, bukan menjadi kendala karena memang misi para gembala adalah mewartakan keselamatan ke pelosok dunia manapun. Dialah Nilo Asuncion Lardizabal, OP, seorang pastor atau misonaris Dominikan, kelahiran Manila, Filiphina, 33 tahun lalu.
Romo Nilo –sapaan akrabnya—setelah beberapa hari berada di Jakarta, langsung terbang ke Surabaya. Di Surabaya, bersama dengan Romo Paul (juga dari Manila), keduanya menuju sebuah tempat yang letaknya di kawasan Dukuh Kupang Barat,  Gereja Redemptor Mundi (RM).
Di Gereja RM, sudah ditunggu dua pastor sesama ordo yang sudah satu tahun lebih berada di Paroki Redemptor Mundi, Romo Adrian Adiredjo, OP, dan Romo Andreas Kurniawan, OP. Romo Adrian sehari-hari menjadi pastor kepala paroki RM, sedangkan  Romo Andreas sebagai pastor rekan. Kedua-keduanya  juga menjadi dosen di Universitas Widya Mandala dan Seminari Tinggi Providentia Dei Diosesan Keuskupan Surabaya.
Apa kesan pertama yang muncul dari Romo Nilo? “Saya senang. Terus terang, saya tidak merasa asing, Malah begitu ditunjuk pembesar untuk berkarya di Indonesia saya sambut dengan gembira. Bayangkan, sejak tahun 2009 hati ini ingin sekali ke Indonesia,” tutur Romo Nilo memulai percakapan dengan Kana belum lama ini di Surabaya.
Lelaki yang murah senyum dan ramah ini membuka cerita. “Tahun 2009, Uskup Surabaya  Mgr Vincentius  Sutikno Wisaksono datang ke Manila. Bapak Uskup minta kalau bisa lulusan doktor filsafat dari Universitas St Thomas Manila mau berkarya di Indonesia menjadi dosen. Saya mulai tertarik dengan ajakan itu,”  kata putra dari Emilito Lardizabal dan Cynthia Lardizabal ini.
Tertarik dengan ajakan Uskup, penggemar hewan piaraan kucing ini, mengaku menambah semangatnya untuk menyelesaikan program doktor filsafat.  “Begitu saya selesaikan program doktor, oleh pembesar langsung mengirim saya ke Surabaya,” kata Romo Nilo. Menurut pengakuan dia, ketertarikan berkarya di Indonesia selain menjadi dosen filsafat, juga ingin membantu Ordo Dominikan di Indonesia.
Setelah beberapa hari di Surabaya, Romo Nilo melihat ada pemandangan yang membuat dia acungkan jempol yakni kehadiran umat pada misa harian dan misa pada Sabtu dan Minggu dimana jumlahnya banyak.
“Di Manila kalau misa harian,  umat yang datang misa tidak banyak. Kalau di sini banyak dan saya senang melihat antusiasme umat seperti itu,” ujar Romo Nilo yang kini sedang mengikuti kursus bahasa Indonesia. “Di sini saya bahagia karena punya banyak teman, lagi pula mereka rajin-rajin, setia dan ramah. Saya senang kalau misa umat menyanyi semua dengan suara-suara merdu,” pujinya.
Bahagia campur sedih
Menyinggung tentang reaksi keluarganya, apakah tidak sedih ketika berpamitan, Romo menarik napas panjang dan mengatakan, perasaan kedua orangtua dan adik kandung yang perempuan, Neza Lardizabal, bercampur sedih dan bahagia.
“Waktu saya pamit, orangtua dan adik saya yang perempuan sepertinya berat. Saya lihat mereka sedih dan juga mereka bilang bahagia karena menjalankan tugas kegembalaan di luar negeri. Mereka sedih karena lama tidak melihat saya,” ungkapnya.
Sebagai anak pertama, lanjutnya, wajar kalau kedua orangtua dan adik perempuannya mereka kehilangan. Tapi di balik itu, keluarganya mengaku, ada kebanggaan tersendiri dimana putranya menjadi gembala di negeri orang.
Kini salah satu kewajiban yang harus dia lakukan di Surabaya adalah mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. “Saya terus belajar. Setelah saya belajar bahasa Indonesia, saya merasa tertarik. Saya mulai belajar tiga minggu lalu dibawah bimbingan guru les privat, Ibu Fransisca. Ibu Fransisca guru yang sangat bagus,” kata Romo yang mengaku mulai doyan sambal pedis ini.
Pada 3 Desember lalu, ada satu momen yang cukup mengharukan yakni ultah imamatnya yang ke-4. Ultah imamat itu dirayakan sangat sederhana di ruangan rapat Romo Paroki dan dihadiri sekitar 15 orang terdiri dari para ibu-ibu pengurus DPP dan BGKP,  Romo Andre, Romo Paul, karyawan paroki. Di salah satu sudut ruangan berdiri sebuah kue tart dengan empat lilin kecil sebagai symbol imamat keempat Romo Nilo. Meski tidak dihadiri kedua orangtua, tidak membuat Romo Nilo sedih. “Sedih juga tapi tidak terlalu. Saya sudah sering jauh dari keluarga. Saya gembira Bapak dan ibu yang hadir di sini ramah-ramah. Malah di sini saya merasa seperti rumah sendiri,” katanya sembari tersenyum.
Ditanya bagaimana setelah satu rumah dengan Romo Adrian dan Romo Andre, Romo Nilo mengatakan, hubungan mereka baik-baik saja. “Romo Adrian, Romo Andre, Romo Paul, kami semua seperti saudara. Apalagi kami sama-sama belajar di seminari tinggi di Manila. Saya satu angkatan dengan Romo Paul dan Romo Andreas waktu di Manila. Kalau Romo Adrian saya anggap seperti kakak saya sendiri,” ujarnya. Selamat bertugas Romo Nilo, semoga betah di Surabaya.
(herman yos kiwanuka)


  


  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar