Selasa, 03 Februari 2015

Pendidikan Karakter Dalam Keluarga
Pendidikan karakter bisa dimaknai sebagai suatu usaha mempersiapkan para
peserta didik agar dapat menghayati semua talenta yang dimilikinya
dalam hidup bersama dengan dan untuk orang lain dalam dunia yang terus
berubah secara mendasar atau dengan kata lain pendidikan karakter bermaksud untuk membantu setiap peserta didik menjadi insan yang berkeutamaan.
Pada tulisan ini ada tiga kata kunci, yaitu keluarga, pendidikan dan karakter. Yang saya maksud dengan keluarga adalah suatu komunitas hidup dan kasih antar anggotanya, antara bapa, ibu dan anak-anak mereka (bdk. Gaudium et Spes, art. 48).
Dalam bahasa Inggris dikenal istilah education, istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah pendidikan. Sedang dalam bahasa Latin dikenal dua istilah, yaitu educare dan educere. Istilah educare memiliki kaitan dengan kata melatih atau menjinakkan, menyuburkan tanah. Sedang istilah educere terdiri dari dua kata, yaitu ex yang artinya keluar dari, dan kata ducere yang berarti memimpin. Maka istilah educere  berkaitan dengan kegiatan untuk menarik keluar atau membawa keluar.
Dalam konteks itu maka pendidikan bisa diartikan sebagai proses pemberian bantuan dari pihak yang membantu ke  pihak yang dibantu. Ciri dari relasi itu terasa bersifat positif, di mana pihak yang pertama membantu pihak kedua untuk dapat mencapai tujuan bersama umat manusia yaitu tercapainya kesejahteraan bersama (bonum commune). Dengan demikian pendidikan pada dasarnya bertujuan membantu para peserta didik mampu mengembangkan talenta yang diterima secara gratis dari Allah agar dapat berguna bagi tujuan  hidup manusia yang bertanggungjawab.
Karakter secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, karasso, yang artinya blue-print, cetak biru, sudah dari sononya. Berkaitan dengan itu  seorang pemikir Perancis yang bernama Emmanuel Mounier (1905-1950) dalam bukunya yang berjudul The Character of Man, mencoba menafsirkan makna karakter dalam dua makna, yang pertama sebagai kondisi yang telah diberikan begitu saja, telah ada begitu saja, yang lebih dipaksakan dalam diri pribadi yang bersangkutan (sesuatu yang given). Kedua, karakter juga dapat dipahami sebagai tingkat kemampuan melalui mana seseorang pribadi mampu menguasai kondisi tersebut, dalam arti ini karakter dipahami oleh Mounier sebagai kondisi yang dikehendaki.
Terlepas dari pemikiran Mounier, kita dapat mengatakan bahwa ada orang yang berkarakter kuat dan orang yang berkarakter lemah. Orang yang berkarakter kuat adalah orang yang tidak mau hanya dikuasai oleh sekumpulan kondisi sebagaimana yang dikatakan orang tentang dirinya. Sebaliknya orang yang berkarakter lemah adalah orang yang tunduk pada kondisi-kondisi sebagaimana orang-orang lain mengenakan pada dirinya. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk berubah menjadi lebih baik, keyakinan itu berangkat dari keyakinan kita pada sabda Yesus “Karena itu, haruslah kamu sempurna, seperti Bapamu yang di surga sempurna” (Mt.5:48).
Bila harus berbicara tentang karakter, maka kita dapat mengkaitkannya dengan nilai-nilai manusiawi, dengan moralitas, karena saya memiliki keyakinan bahwa seluruh penyakit sosial yang ada di sekitar kita saat ini seperti kekerasan, pelecehan seksual, korupsi, ketergantungan obat berawal dari kelalaian pada pendidikan karakter, pendidikan yang saat ini digalakkan di negara kita cenderung berat sebelah pada pendidikan kognitif belaka, di mana pendidikan  hati dilalaikan, juga oleh orangtua sekalipun.
Brooks dan Goble dalam bukunya The Case for Character Education: The Role of the School is teaching values and virtue, menulis “Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunitas. Para siswa mendapatkan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orang tua bergembira ketika anak-anak  mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme di dalam sekolah”.
Biarpun apa yang ditulis oleh Brooks dan Goble tidaklah salah, namun akan lebih ideal bila orang tua dalam keluarganya masing-masing sudah mengawali komunikasi nilai sedini mungkin. Bahkan Linda dan Richard Eyre dalam buku mereka yang berjudul Teaching Your Children Values, menulis “Rumah atau keluarga tidak akan pernah – tidak boleh – dan tidak dapat digantikan sebagai lembaga tempat nilai-dasar dipelajari dan diajarkan….. jika anak-anak berangkat dari kondisi tanpa nilai – tanpa seorangpun mengajari, tanpa sesuatu yang dapat dipelajari – mereka akan terkatung-katung tak tentu arah, dan hidup mereka tidak akan pernah menjadi milik sendiri”.
Bagi Linda dan Richard Eyre, lembaga-lembaga lain – seperti sekolah, organisasi agama, pramuka, dan sebagainya, memang dapat menjadi sarana untuk mengajarkan nilai-nilai dan moral, tetapi perbantahan tentang bagaimana, di mana dan nilai-nilai apa yang harus diajarkan oleh masyarakat bukan pokok bahasa buku mereka. Bagi Linda dan Richard yang penting apa saja dapat diajarkan oleh orangtua di sebelah dalam dinding-dinding rumah kita.
Karakter tidak bisa dilepaskan dari nilai yang merupakan unsur esensial pembetuk karakter. Nilai adalah sesuatu yang baik, yang pantas dikejar dan dihayati. Dalam kaitan dengan karakter maka nilai bisa berarti standar dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Dianne Tillman dan Pilar QueraColomina dalam bukunya Living Values: An Educational Program. Educator Training Guide, menawarkan nilai-nilai universal sebagai berikut: kedamaian; penghargaan; cinta; kebahagiaan; kebebasan ; kejujuran; kerendahan hati; toleransi; kerjasama; tanggungjawab; kesederhanaan dan persatuan.
Sedang Linda dan Richard Eyre  menawarkan 2 kelompok nilai-nillai universal; yaitu nilai-nilai nurani atau values of being dan nilai-nilai memberi atau values of giving. Masing-masing kelompok terdiri dari enam nilai, yaitu kejujuran; keberanian; cinta damai; keandalan diri dan potensi; disiplin diri dan tahu batas merupakan nilai-nilai nurani. Sedang setia dan dapat dipercaya; hormat; cinta, kasih, sayang; peka dan tidak egois; baik hati dan ramah; adil dan murah hati yang merupakan nilai-nilai memberi.
Baik Dianne Tillman dan Pilar Quera Coomina maupun Linda dan Richard Eyre masing menawarkan 12 nilai universal, di mana ada yang sama dan ada yang berbeda. Tentu dalam proses pendidikan karakter proses mengkomunikasikan nilai-nilai universal itu silakan dipilih mana yang akan diprioritaskan, karena tentu akan menghambat proses pendidikan kalau nilai-nilai universal itu dikomunikasikan bersamaan dalam waktu yang sama.
Dari pengalaman mendampingi keluarga-keluarga muda dalam pastoral keluarga banyak keluhan bahwa proses pendidikan karakter sungguh tidak mudah bagi banyak orangtua. Mengapa?  Ada beberapa hal yang mempersulit orang tua pada masa kini. Kesulitan pertama lahir dari situasi dan kondisi dewasa ini yang dihadapi oleh orangtua. Orangtua saat ini ada berdiri di persimpangan jalan. Maka dalam menyikapi ini ada tiga macam model orang tua yang saya temui, yaitu orang tua yang posesif, orang tua yang permisif dan orang tua yang asertif.
Orangtua posesif adalah orangtua yang mengenakan cinta yang membelenggu, dengan dalih memberi akar yang kuat tapi tidak memberi sayap maka orangtua posesif yang terperangkap pada sikap overprotectitive bahkan cenderung otoriter dan tidak mengerti keadaan dan suasana hidup anaknya. Untuk orangtua posesif perlu merenungkan apa yang ditulis oleh Kahlil Gibran “Anakmu bukanlah anakmu, mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan diri mereka sendiri. Mereka datang melalui engkau tapi bukan dari engkau, dan walau mereka ada bersamamu tapi mereka bukan kepunyaanmu……”
Orangtua yang permisif, yang menganut prinsip liberal, demokratis dan pembela kebebasan. Dengan prinsip tersebut maka orangtua permisif cenderung menghindari komunikasi nilai, memberi kesempatan pada anak-anak mereka untuk memilih sistem nilai mereka sendiri. Pendekatan ini berbahaya, karena anak tidak pernah dibekali dengan akar-akar kehidupan agar mereka dapat tumbuh dengan tegar dan tahan terhadap angin deras perubahan yang mendasar.  Anak-anak akan belajar dari lingkungannya, dan bila mereka berada dalam lingkungan yang tidak baik maka dengan sangat mudah mereka terbentuk menjadi tidak baik.
Sedangkan orangtua yang asertif adalah orangtua yang memiliki kepribadian tegas dalam menyampaikan pendapatnya, idenya, perasaannya namun dengan cara yang tidak membuat orang lain sakit hati. Orangtua yang asertif juga adalah orangtua yang mampu mengkomunikasikan nilai-nilai yang diyakininya kepada anak-anak mereka secara bijaksana, bukan instruktif dan otoriter. Ia berusaha untuk menerapkan prinsip keteladanan, misalnya dengan menghayati betul pepatah yang mengatakan “satunya kata dengan perbuatan”. Dari ketiga model orangtua tadi, orangtua asertiflah yang dapat menjadi pendidik yang pertama dan utama, khususnya di bidang pendidikan karakter. **

Penulis: Stanislaus Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar